Langsung ke konten utama

Pergeseran Keperawatan Lansia di Masyarakat

Sejak tahun 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Lansia (Lanjut Usia) Internasional. Tema besar pada waktu itu adalah: The Year of Older Persons. Hal ini untuk memperingatkan seluruh penduduk dunia tentang fenomena peningkatan jumlah penduduk lanjut usia yang begitu cepat. Namun di sisi lain kesejahteraan lansia masih menjadi persoalan besar setiap negara di dunia.
Peningkatan jumlah lansia yang diiringi perubahan struktur dan pola keluarga yang semakin mengecil, menjadi keluarga inti (nuclear family) merupakan tantangan bidang kependudukan abad ke 21. Sebagaimana sudah diketahui, keberhasilan program KB menjadikan angka fertilitas penduduk Indonesia menurun cukup signifikan. Di sisi lain arus modernisasi dan industrialisasi juga sebagai faktor yang menyebabkan pola dukungan keperawatan kepada lansia menjadi berubah.
Sebenarnya perubahan budaya keperawatan lansia merupakan hal yang tidak dapat dicegah. Keadaan ini pula yang terjadi di negara-negara maju, di mana mereka lebih dahulu mengalami transisi demografi. Akan tetapi, budaya dalam keluarga Indonesia pada dasarnya masih terlihat cukup kuat untuk menopang perubahan tersebut khususnya di daerah perdesaan atau dalam keluarga yang masih memelihara budaya pertukaran dukungan dan bantuan (reciprocal support) baik dukungan keperawatan, ekonomi ataupun moral-psikologis.
Perubahan pola dan struktur keperawatan kepada lansia akan lebih terasa pada kelompok masyarakat di perkotaan di mana modernisasi telah terjadi. Yaitu dominasi perubahan dari status pekerjaan pertanian menjadi industri atau jasa. Di samping itu turut aktif-nya perempuan ke dalam sektor publik merupakan faktor lain, berkurangnya pemberi perawatan kepada lansia (care giver), yang selama ini menjadi nilai dalam masyarakat kita umumnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini dan untuk masa yang akan datang permasalahan keperawatan lansia merupakan tantangan yang serius mengingat jumlah lansia yang terus meningkat. Pada saat yang bersamaan banyak hasil penelitian menunjukkan masih tingginya angka kesakitan dan disabilitas yang dialami oleh lansia kita yang memerlukan perawatan.
Sebetulnya ada 2 antisipasi program yang harus dilaksanakan oleh instansi dan lembaga terkait berkenaan dengan fenomena tersebut. Pertama, pembenahan kembali struktur budaya dalam keluarga untuk menopang sistem jaminan kepada lansia dalam masyarakat. Sebagai contoh dalam Suku Sunda, anak dan cucu serta kerabat adalah aset untuk memberi dukungan kepada orang tua ketika memang memerlukannya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu pedoman hidup orang Sunda: “Ari munjung ulah-ka gunung, muja ulah ka nu bala; ari munjung kudu ka indung, muja mah kudu ka bapa” (yang harus disembah itu bukanlah gunung atau tempat-tempat angker, melainkan ibu dan ayah sendiri). Dalam nilai tata budaya Sunda tersebut tergambar bahwa penghargaan kepada orang tua dalam segala bentuknya merupakan nilai yang tinggi dan sebagai kewajiban kelompok generasi yang lebih muda.
Dalam iklim modern dan demokratis, sudah selayaknya kita tidak boleh lagi terjebak dalam pembagian tugas dan kerja yang bias gender. Hal ini berimplikasi bahwa tugas keperawatan lansia dalam keluarga merupakan tanggung jawab bersama, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Merawat orang tua atau lansia bukan hanya tugas anak perempuan, karena mereka adalah orang tua kita.
Kedua, mempersiapkan pusat pelayanan-keperawatan lansia yang memadai. Dalam kondisi yang mendesak bisa saja lansia dirawat dalam suatu panti. Panti Werdha (PW) yang memadai dan representatif merupakan tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan berkompeten untuk memulainya. Karena banyak kasus PW identik dengan tempat transit lansia menuju peristirahatan terakhir. Di dalam panti harus ditawarkan banyak program dan kegiatan yang diminati oleh lansia. Di samping itu panti juga harus memiliki tenaga profesional, paling tidak ada 3 bidang ilmu yang berkaitan langsung; 1) medis-keperawatan, 2) psikologis dan 3) pekerja sosial.
Kita harus mendukung motto "ulama" (usia lanjut masih aktif), karena hal ini sesuai yang dianjurkan oleh WHO dengan programnya lansia yang tetap aktif dan produktif. Produktif tidak selalu berkonotasi dengan menghasilkan keuntungan materi. Produktif dapat mengandung arti lansia masih dibutuhkan dan bermakna di dalam masyarakat. Sehingga lansia akan selalu optimis dan berbahagia dalam menjalani hari tua mereka.
Pada banyak literatur di negara maju disebutkan telah terjadi penurunan fungsi dan peran keluarga dalam pemberian dukungan kepada lansia. Seperti digambarkan pada bagian awal, kultur dan sistem adiministrasi sosial di negara-negara barat pada umumnya menetapkan ketika seorang individu telah memasuki masa lansia maka negara yang berkewajiban untuk menanganinya dengan sistem jaminan sosial (social security system).

Dalam model keperawatan kepada lansia terdapat 3 bentuk, yaitu: 1) Model Medis, model ini lebih mefokuskan pada pendekatan aspek medis, seperti pengobatan pada penyakit dan kecelakaan yang banyak dialami oleh lansia. Peran dokter dan paramedis sangat dominan dalam model ini. Pusat-pusat medis dan rehabilitasi menjadi tempat dilaksanakannya model ini. 2) Model Sosial, pendekatan menyeluruh merupakan ciri dari model sosial. Pendekatan medis diyakini sebagai salah satu dari keseluruhan sistem keperawatan kepada lansia. Di samping terapi kesehatan, digunakan pula pendekatan psikologis. Lansia diupayakan sedapat mungkin masih berada di dalam keluarga dan masyarakatnya. Para profesional lintas disiplin banyak terlibat dalam model ini, seperti; dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dll.

3) Model Promosi dan Dukungan Kesehatan, model ini lebih menekankan pada pencegahan dan perawatan diri/individu serta pencegahan pada penyakit melalui perubahan gaya hidup, peningkatan pengetahuan tentang tingkah laku dan sikap hidup sehat dan perbaikan lingkungan.
Dalam kenyataan masih banyak pihak termasuk lembaga dan yayasan keperawatan lansia memandang secara parsial pelaksanaan model tersebut. Padahal di negara-negara maju, kolaborasi dari ketiga model tersebut sudah diterapkan. Hal ini penting untuk mencapai hasil optimal dari pelayanan-keperawatan kepada lansia.
Pelayanan keperawatan lansia akan semakin dibutuhkan pada masyarakat dengan tingkat kesakitan tinggi, norma keluarga dan masyarakat yang sudah bergeser pada jaminan pada lansia. Keadaan ini tentu cukup menjadi gambaran sebuah tantangan keperluan panti pelayanan-keperawatan bagi lansia yang memadai dalam masyarakat. Demikian pula Pemerintah Indonesia dengan UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia mengharapkan peran keluarga dan masyarakat masih menjadi yang utama.

Sebagaimana gambaran model keperawatan lansia tersebut, model yang representatif bukan hanya memiliki pelayanan kesehatan tetapi juga mencakup aspek program sosial kemasyarakatan lainnya. Di samping itu harus ada karakter lembaga pelayanan-keperawatan lansia yang memiliki karakter profesional
, yang meliputi: aksesibilitas, menyeluruh, koordinatif, berkelanjutan, dan akuntabel. Model pelayanan-keperawatan lansia harus benar-benar dijalankan secara profesional. Ukuran sebuah model layanan profesional adalah dapat memuaskan klien. Yaitu terpenuhi semua kebutuhan lansia sesuai kompensasi yang ditetapkan.
Selain manajer yang berkualifikasi, bidang keperawatan adalah salah satu aspek yang menjadi ujung tombak penentu keberhasilan sebuah lembaga keperawatan lansia. Perawat lansia harus memiliki kecakapan yang khas, karena lansia adalah orang dewasa dengan karakter psikologis yang semakin berubah bersamaan dengan menurunnya kapasitas fisik.
Lembaga pelayanan keperawatan lansia juga harus memiliki program-program promotif yang dapat disosialisasikan kepada lansia yang tetap tinggal dengan keluarga dan masyarakat. Termasuk teknik-teknik dasar dalam keperawatan gerontik kepada older sitter, care giver, dan individu atau keluarga yang memiliki lansia.

Akhirnya, apapun keadaan dan kondisinya lansia sedapat mungkin harus tetap tinggal bersama pasangan, anak dan cucu serta famili di rumah. Bentuk seperti inilah pada prinsipnya yang dikehendaki lansia Indonesia pada umumnya. Jangan sampai ada ungkapan lansia kita sebagaimana yang diungkapkan lansia dari Kyoto-Jepang,
"Bukan uang yang saya pikirkan tapi rasa sayang dan perhatian yang saya butuhkan...."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empowering Social Environment for Children

Family Educational design could impact child personality in their life. The family that set up education in democratic circumstance makes children more stable in manner and behaviour, children that are educated in authoritarianism situation tent to aggressive. Family that set up in permissive circumstance make them more aggressive. The research result could be interpreted that we have to evaluate three educational environments, namely: family, school and community (peer groups). We have to design those environments which could support the child in their psychology development phase. The other is IT tools, the one relatively newest educational institution that also could impact child behaviour. Family empowerment is one of the best solutions in handling and facing modern and globalization era.

Potensi Old Voter Pada Pilkada Di Kalsel

Saat ini gebyar pemilihan kepala daerah (pilkada), baik di tingkat propinsi maupun kota/kabupten menjadi pusat perhatian publik setempat. Ada yang baru pada pilkada 2005 ini, masyarakat akan memilih langsung calon kepala daerah yang menjadi idola, panutan sekaligus harapan mereka di masa akan datang. Semua calon selayaknya menampilkan kondisi terbaik yang dimiliki, dari penampilan performance ) sampai kerangka pemikiran yang dipaparkan dalam visi dan misi untuk membangun daerah. Uuntuk memudahkan mengingatnya, dibuat tema atau slogan yang cukup menarik agar menjadi perhatian publik. Seperti: Saatnya Kalsel Bangkit!, 2U, 2R, dan lain-lain sebagai cerminan target yang ingin dicapai kandidat. Semua potensi kesenjangan dalam segmen kehidupan di masyarakat dengan berbagai karakteristiknya menjadi target kandidat untuk diangkat sebagai tema kampanye dan sosialisasi program. Peningkatan usia harapan hidup penduduk, merupakan fenomena yang relatif baru terjadi di negara berkembang seperti

Pemanfaatan Waktu Luang (Leisure Time) Bagi Lansia

1. Pengantar Sebagaimana disampaikan oleh para ahli demografi bahwa penuaan penduduk merupakan fenomena global. Penuaan penduduk merupakan ciri demografi abad milenium. Keadaan ini diakibatkan oleh proses demografi, yaitu; penurunan angka mortalitas seiring dengan semakin rendahnya angka fertilitas. Di samping itu kemajuan di bidang teknologi dan ilmu kedokteran telah dapat menekan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit menular. Bersamaan itu tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat turut mengubah pola hidup masyarakat menjadi anti mortalitas. Usia harapan hidup (life expectancy at birth) semakin panjang merupakan output dari perubahan seperti yang digambarkan di atas. Dampak langsung dari peningkatan usia harapan hidup adalah peningkatan jumlah penduduk lansia (elderly). Diperkirakan pada tahun 2005 penduduk lansia Indonesia (60+) sudah berjumlah 18,4 juta jiwa atau sekitar 8,1 persen dari jumlah penduduk kita. Pada tahun 2020 diproyeksikan jumlahnya akan meningkat menjadi