Langsung ke konten utama

Tantangan dan Optimalisasi Peran Lembaga Pelayanan- Keperawatan Lansia

Latar Belakang

Peningkatan jumlah lansia yang diiringi perubahan struktur dan pola keluarga yang semakin mengecil, menjadi keluarga inti (nuclear family) merupakan tantangan bidang kependudukan abad ke 21. Sebagaimana sudah diketahui, keberhasilan porgram KB menjadikan angka fertilitas Indonesia menurun cukup signifikan. Di sisi lain arus modernisasi dan industrialisasi juga sebagai faktor yang menyebabkan pola dukungan keperawatan kepada lansia menjadi berubah. Sebenarnya perubahan budaya keperawatan lansia merupakan hal yang tidak dapat dicegah. Keadaan ini pula yang terjadi di negara-negara maju, di mana mereka lebih dahulu mengalami transisi demografi. Akan tetapi, budaya dalam keluarga Indonesia pada dasarnya masih terlihat cukup kuat untuk menopang perubahan tersebut khususnya di daerah perdesaan atau dalam keluarga yang masih memelihara budaya resiprokal dukungan (keperawatan, ekonomi dan moral-psikologis). Perubahan pola dan struktur keperawatan kepada lansia akan lebih terasa pada kelompok masyarakat di perkotaan di mana modernisasi telah terjadi. Perubahan dari status pekerjaan pertanian menjadi industri atau jasa yang lebih dominan. Di samping itu turut aktif-nya perempuan ke dalam sektor publik merupakan faktor lain, berkurangnya pemberi perawatan kepada lansia (care giver). Yang selama ini menjadi nilai dalam masyarakat kita umumnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saat ini dan masa yang akan datang permasalahan keperawatan lansia merupakan tantangan yang serius mengingat jumlah lansia yang terus meningkat. Pada saat yang bersamaan banyak hasil penelitian menunjukkan masih tingginya angka kesakitan dan disabilitas yang dialami oleh lansia kita.
Sebetulnya ada 2 antisipasi program yang harus dilaksanakan oleh instansi dan lembaga terkait berkenaan dengan fenomena tersebut. Pertama, pembenahan kembali struktur budaya dalam keluarga untuk menopang sistem jaminan kepada lansia, dalam kultur di masyarakat. Sebagai contoh dalam Suku Sunda, anak dan cucu serta kerabat adalah aset untuk memberi dukungan kepada orang tua ketika memang memerlukannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu pedoman hidup orang Sunda: “Ari munjung ulah-ka gunung, muja ulah ka nu bala; ari munjung kudu ka indung, muja mah kudu ka bapa” (yang harus disembah itu bukanlah gunung atau tempat-tempat angker, melainkan ibu dan ayah sendiri). Di situ tergambar bahwa penghargaan kepada orang tua dalam segala bentuknya merupakan nilai yang tinggi sebagai kewajiban kepada kelompok generasi yang lebih muda. Kita juga dalam iklim modern dan demokratis tidak boleh lagi terjebak dalam pembagian tugas dan kerja yang bias gender. Hal ini berimplikasi bahwa tugas keperawatan lansia dalam keluarga merupakan tanggung jawab bersama, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Kedua, merupakan tantangan tersendiri bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan berkompeten untuk melakukan program. Paling tidak ada 3 bidang ilmu yang berkaitan langsung; 1) medis-keperawatan, 2) psikologi dan 3) pekerja sosial.

Model Keperawatan Lansia


Pada banyak literatur di negara maju disebutkan telah terjadi penurunan fungsi dan peran keluarga dalam pemberian dukungan kepada lansia. Seperti digambarkan pada bagian awal, kultur dan sistem adiministrasi sosial di Negara-negara Barat pada umumnya menetapkan ketika seorang individu telah memasuki masa lansia maka negara yang berkewajiban untuk menanganinya dengan sistem jaminan sosial (social security system). Bahkan ada salah satu kasus diungkapkan oleh seorang warga kebangsaan Hungaria sebagai berikut: ”saya tidak pernah melakukan kontrak sosial untuk merawat orang tua ketika mereka masuk usia lansia” . Demikian pula dari pihak lansia sendiri, mereka merasa enggan dan tidak mau tergantung kepada anak dan keluarga. Dalam model keperawatan kepada lansia dapat dibagi menjadi 3 Model Keperawatan:
1. Model Medis, Model ini lebih mefokuskan pada pendekatan aspek medis, seperti pengobatan pada penyakit dan kecelakaan yang banyak dialami oleh lansia. Peran dokter dan paramedis sangat dominan dalam model ini. Pusat-pusat medis dan rehabilitasi menjadi tempat dilaksanakannya model ini. 2. Model Sosial, Pendekatan menyeluruh merupakan ciri dari model sosial. Pendekatan medis diyakini sebagai salah satu salah dari keseluruhan sistem dukungan kepada lansia. Di samping terapi kesehatan digunakan juga pendekatan psikologis dan lansia diupayakan sedapat mungkin masih berada di dalam keluarga dan masyarakatnya. Para profesional lintas disiplin banyak terlibat seperti; dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dll. 3. Model Promosi/Dukungan Kesehatan, • Lebih menekankan pada pencegahan dan perawatan diri/individu, • Pencegahan melalui perubahan gaya hidup, peningkatan pengetahuan tentang tingkah laku/sikap hidup sehat dan perbaikan lingkungan. Banyak pihak termasuk lembaga dan yayasan keperawatan lansia masih secara parsial menggunakan model tersebut. Padahal di negara-negara maju, kolaborasi dari ketiga model tersebut sudah diterapkan. Hal ini penting untuk mencapai hasil optimal dari pelayanan-keperawatan kepada lansia.

Tantangan Keperawatan Lansia Dalam Masyarakat


Pelayanan keperawatan lansia akan semakin dibutuhkan pada masyarakat dengan tingkat kesakitan tinggi, norma keluarga dan masyarakat yang sudah bergeser pada jaminan pada lansia. Sebagai salah satu contoh kasus, berdasarkan hasil penelitian tentang aktivitas lansia di salah satu kecamatan di Kota Bandung ditemukan 53,1 persen responden mengatakan dalam kondisi sakit. Keadaan ini menggambarkan representasi keadaan lansia Kota Bandung yang rentan sakit dalam menjalani masa tua-nya. Pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 130 ribu lansia di Kota Bandung dengan hanya 5 buah panti werdha. Keadaan tentu cukup menjadi sebuah gambaran tantangan akan keperluan panti pelayanan-keperawatan bagi lansia. Pemerintah Indonesia dengan UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia mengharapkan peran keluarga dan masyarakat masih yang utama.
Berdasarkan pengalaman PW YPAB yang memberikan pelayanan-keperawatan pada lansia, melihat kebutuhan institusi yang menangani lansia di Kota Bandung cukup tinggi. Terkhusus memang lansia yang mengalami disabilitas dan memerlukan konseling serta terapi fisiologis. Demikian pula keperluan akan para profesional lintas disiplin guna optimalisasi pelayanan sangat diperlukan. Paling tidak sebuah panti werdha harus memiliki tenaga profesional di bidang: medis geriatrik, perawat lansia, ahli fisioterapis, ahli gizi, psikolog atau psikiatri, dan pekerja sosial. Memang untuk sebuah PW yang representatif sudah pasti memerlukan banyak dana dan sumberdaya. Namun dengan manajemen subsidi silang yang diterapkan YPAB, dukungan pemerintah dan masyarakat serta klien, harus ada inisiatif untuk memulai. Sehingga nuansa bisnis dapat dipadukan atau dikolaborasikan dengan aspek sosial. Sebagaimana gambaran model keperawatan lansia di atas, model yang representatif bukan hanya pelayanan kesehatan tetapi juga mencakup aspek program sosial kemasyarakatan lainnya. Di samping itu harus ada karakter lembaga pelayanan-keperawatan lansia yang memiliki karakter dasar.
Beberapa prinsip dasar model keperawatan, harus mencakup: 1. Aksesibel, 2. Menyeluruh, 3. Koordinatif, 4. Berkelanjutan, 5. Akuntabel. Model pelayanan-keperawatan lansia harus dijalankan secara profesional dengan manajemen yang benar-benar akuntabel. Ukurannya sebuah model layanan dapat memuaskan klien. Yaitu terpenuhi semua kebutuhan klien sesuai kompensasi yang ditetapkan. Selain manajer yang berkualifikasi, bidang keperawatan adalah salah satu aspek yang menjadi ujung tombak penentu keberhasilan sebuah lembaga keperawatan lansia. Perawat lansia harus memiliki kecakapan yang khas, karena lansia adalah orang dewasa dengan karakter psikologis yang semakin berubah bersamaan dengan menurunnya kapasitas fisik.
Prinsip keperawatan lansia ; 1. Buatlah tugas menjadi mudah, 2. Pertahankan rasa humor, 3. Utamakan keselamatan, 4. Usaha kebugaran dan kesehatan, 5. Peliharalah komunikasi, 6. Selalu menjaga kebersihan diri.
Lembaga pelayanan keperawatan lansia juga harus memiliki program-program promotif yang dapat disosialisasikan kepada lansia yang tetap tinggal dengan keluarga. Termasuk teknik-teknik dasar dalam keperawatan gerontik kepada older sitter, care giver, dan individu yang memiliki lansia. Karena pada dasarnya apapun keadaan dan kondisinya lansia sebaiknya tetap tinggal di rumah bersama pasangan, anak dan cucu serta family. Bentuk seperti inilah pada prinsipnya yang dikehendaki lansia Indonesia pada umumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empowering Social Environment for Children

Family Educational design could impact child personality in their life. The family that set up education in democratic circumstance makes children more stable in manner and behaviour, children that are educated in authoritarianism situation tent to aggressive. Family that set up in permissive circumstance make them more aggressive. The research result could be interpreted that we have to evaluate three educational environments, namely: family, school and community (peer groups). We have to design those environments which could support the child in their psychology development phase. The other is IT tools, the one relatively newest educational institution that also could impact child behaviour. Family empowerment is one of the best solutions in handling and facing modern and globalization era.

Potensi Old Voter Pada Pilkada Di Kalsel

Saat ini gebyar pemilihan kepala daerah (pilkada), baik di tingkat propinsi maupun kota/kabupten menjadi pusat perhatian publik setempat. Ada yang baru pada pilkada 2005 ini, masyarakat akan memilih langsung calon kepala daerah yang menjadi idola, panutan sekaligus harapan mereka di masa akan datang. Semua calon selayaknya menampilkan kondisi terbaik yang dimiliki, dari penampilan performance ) sampai kerangka pemikiran yang dipaparkan dalam visi dan misi untuk membangun daerah. Uuntuk memudahkan mengingatnya, dibuat tema atau slogan yang cukup menarik agar menjadi perhatian publik. Seperti: Saatnya Kalsel Bangkit!, 2U, 2R, dan lain-lain sebagai cerminan target yang ingin dicapai kandidat. Semua potensi kesenjangan dalam segmen kehidupan di masyarakat dengan berbagai karakteristiknya menjadi target kandidat untuk diangkat sebagai tema kampanye dan sosialisasi program. Peningkatan usia harapan hidup penduduk, merupakan fenomena yang relatif baru terjadi di negara berkembang seperti

Pemanfaatan Waktu Luang (Leisure Time) Bagi Lansia

1. Pengantar Sebagaimana disampaikan oleh para ahli demografi bahwa penuaan penduduk merupakan fenomena global. Penuaan penduduk merupakan ciri demografi abad milenium. Keadaan ini diakibatkan oleh proses demografi, yaitu; penurunan angka mortalitas seiring dengan semakin rendahnya angka fertilitas. Di samping itu kemajuan di bidang teknologi dan ilmu kedokteran telah dapat menekan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit menular. Bersamaan itu tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat turut mengubah pola hidup masyarakat menjadi anti mortalitas. Usia harapan hidup (life expectancy at birth) semakin panjang merupakan output dari perubahan seperti yang digambarkan di atas. Dampak langsung dari peningkatan usia harapan hidup adalah peningkatan jumlah penduduk lansia (elderly). Diperkirakan pada tahun 2005 penduduk lansia Indonesia (60+) sudah berjumlah 18,4 juta jiwa atau sekitar 8,1 persen dari jumlah penduduk kita. Pada tahun 2020 diproyeksikan jumlahnya akan meningkat menjadi